Saturday 29 January 2011

Ambeg paramarta

Ambeg Adil Paramarta

Walaupun demikian, tega larane ora tega patine tidak berarti masyarakat akan diam,
bersabar membiarkan keadaan memburuk di bawah kepemimpinan yang angkuh. Pada saat tertentu di mana kemarahan memuncak, bangsa Indonesia bisa kehilangan kesabaran. Dalam Silaturahmi Tokoh Nasional (8/10) di PP Muhammadiyah, Mahfud MD berpendapat bahwa sabar tidak selalu berarti menahan diri. Sabar dapat diekspresikan dalam bentuk kemarahan.

Faktor inilah yang menyebabkan Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Abdurrahman Wahid meninggalkan Istana Negara dengan unhappy ending. Dalam sejarah bangsa Indonesia, Presiden SBY memang memiliki catatan sejarah yang penuh makna. Setelah menjadi Presiden RI yang pertama kali dipilih melalui pemilihan langsung, SBY juga secara meyakinkan terpilih kembali untuk memimpin Indonesia. Sebanyak 60% lebih pemilih pada 2009 mengantarkan SBY ke kursi kepresidenan.

Tetapi, setelah setahun memimpin, masyarakat mulai tidak puas, terutama dalam pelayanan kesejahteraan sosial, ekonomi, penegakan hukum, dan stabilitas politik. Masyarakat menginginkan kehidupan segera berubah. Sikap para demonstran yang membakar foto-foto ganteng Presiden SBY semestinya direspons dengan penuh kearifan. Melalui berbagai forum, presiden meminta agar para punggawanya tidak menjawab kritik dengan emosional, melainkan dengan kerja keras dan profesional. Imbauan presiden itu ternyata tidak cukup direspons dengan bijak.

Sangat disayangkan jika di era keterbukaan seorang pejabat bereaksi emosional dengan melemparkan tudingan irasional kepada pihak tertentu. Selain tidak bijak, sikap demikian juga bisa menyulut ketegangan yang meluas. Aparat kepolisian yang memukul dengan pentungan dan mengusir mahasiswa dengan gas air mata mencerminkan arogansi dan overacting kekuasaan. Sudah saatnya Presiden SBY mengevaluasi kinerja pribadinya dan para punggawanya.

Bangsa Indonesia sangat mendambakan pemimpin yang ambeg adil paramarta. Mereka adalah pemimpin yang adil, bijaksana, dan pandai menentukan skala prioritas, mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum (Umi Kuntari, 2010: 21). Ada banyak penilaian yang menyebutkan Presiden lebih mengutamakan keselamatan dirinya daripada rakyatnya.

Pemerintah dinilai salah menentukan hal prioritas misalnya dengan menelantarkan kasus Century, mengebiri KPK dengan seleksi yang tak kunjung dilaksanakan, membiarkan kasus-kasus HAM, dan sebagainya. Jika penilaian-penilaian tersebut benar adanya, tidak ada salahnya jika pemerintah segera gumregah, dan berbenah sebelum rakyat semakin gerah.

No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang baik dan tidak berbau S A R A

Labels